JUN
17

DR. H. Hamzah Haz

03 Januari 2008


Hamzah Haz, politisi kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 15 Februari 1940, memulai karir politiknya pada 1967. Hamzah menjadi anggota DPRD mewakili mahasiswa dan Angkatan 66.

Ketika memenangi pemungutan suara dalam pemilihan Ketua DPRD Kalimantan Barat. Dia ditolak menduduki kursi ketua DPRD oleh Amir Machmud, Menteri Dalam Negeri. Amir Machmud berkehendak agar yang menduduki posisi itu wakil dari ABRI, bukan Hamzah yang berlatar belakang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Nahdlatul Ulama (NU).

Kebuntuan mewarnai kepemimpinan DPRD Kalbar. Akhirnya dilontarkan jalan keluar, Hamzah bisa duduk di jajaran kepemimpinan DPRD bila Wakil Ketua DPRD yang berasal dari unsur Partai NU ditarik. Hamzah menolak dengan tegas gagasan itu. Menurutnya itu menohok kawan seiring, seperti yang dituturkannya dalam biografi Hamzah Haz: Konsistensi dan Integritas Perjuangan di Bawah Panji-panji Ka’bah .

Tidak hanya itu, Hamzah bahkan harus merelakan posisinya sebagai anggota DPRD Kalbar karena dipaksa oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No 12/1971 tentang Pemurnian Golongan Karya, yang meminta agar wakil Angkatan 66 masuk Golkar atau berhenti sebagai wakil rakyat. Hamzah memilih berhenti dan memilih NU daripada masuk Golkar.

Hamzah memang telah menambatkan hatinya kepada NU, sejak awal karirnya di kancah organisasi dan politik. Meskipun dia berseberangan dengan ayahnya, H. Abdullah Ahmad, aktivis Partai Masyumi dan pengurus Parmusi Cabang Ketapang, Kalimantan Barat.

Jejaknya menapaki karir politik bermula dari kiprahnya mendirikan PMII Komisariat Akademi Koperasi Negara di Yogyakarta, dan sekaligus menjadi ketua umum pertamanya, saat dia menjadi mahasiswa di sana.

Kiprahnya dalam organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU ini berlanjut. Dia kemudian menjadi Ketua Koordinator Cabang PMII Kalbar, lalu menjadi Sekretaris NU Cabang Ketapang, Kalbar, saat usianya baru menginjak 20 tahun. Dalam usia itu dia menjadi Wakil Ketua NU Cabang Ketapang, berlanjut menjadi Wakil Ketua Tanfidziah PWNU Kalbar. Di luar komunitas NU, Hamzah muda menjadi Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Kalbar.

Langkahnya tidak berhenti hanya di wilayah Kalbar. Pada 1971 Hamzah mulai memasuki Gedung DPR Senayan, Jakarta, mewakili Partai NU dari daerah pemilihan Kalbar. Saat itu usianya baru menapak bilangan 30 tahun. Menurutnya dengan kemampuan tak sebanding dengan tokoh-tokoh anggota DPR lainnya, dia merasa seperti rusa masuk kampung.

Ketika pemerintah Orde Baru melakukan konsolidasi sistem sosial dan politik dengan, antara lain, melakukan penyederhanaan partai politik melalui fusi partai, maka NU bersama tiga partai Islam lainnya, PSII, Perti, dan Parmusi melakukan fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Juli 1973. Hamzah pun menjadi bagian dari PPP. Dan, sejak saat itu namanya tidak pernah absen dari daftar anggota legislatif dari PPP.

Selama 29 tahun Hamzah berkiprah di DPR, mulai dari menjadi anggota biasa, Ketua Fraksi PPP DPR, hingga menjadi Wakil Ketua DPR 1999. Perjalanan pun mengantarkannya menjadi Wakil Presiden RI, melalui pemungutan suara dalam Sidang Istimewa MPR 2001.

Seiring dengan itu, perjalanannya di kepengurusan partai pun mendaki anak tangga demi anak tangga, hingga pada Muktamar PPP 1998, Hamzah dinobatkan menjadi Ketua Umum DPP PPP, dan posisi itu kembali dipercayakan kepadanya pada Muktamar PPP 2003.

Menyimak perjalanannya, tidak berlebihan kiranya bila Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyebut Hamzah adalah old crack politician (politisi kawakan). Politisi yang sudah lama malang melintang dalam kancah pergumulan politik Indonesia. Tidak hanya itu, Hamzah adalah politician par excellence karena perhatian, wacana, kiprah, dan kesehariannya terkait dengan politik.

Hamzah menjadi satu dari sedikit gambar tentang bagaimana seharusnya karir politik ditempuh bagi mereka yang berminat menjadi politisi karir, yaitu merangkak dari tangga terbawah hingga mencapai tingkat karir tertinggi. Bukan politisi dadakan, yang secara instan bertransformasi dari kiai menjadi politisi, atau dari ilmuwan menjadi politisi, atau dari artis menjadi politisi.

Sepanjang merintis karir sebagai anggota DPR, dia memiliki kemampuan yang spesifik. Dia menekuni seluk-beluk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan segala kerumitan yang menyertainya. Dan, dia terbukti berhasil dalam hal ini sehingga rekan-rekannya di DPR maupun pers ketika itu menjulukinya ‘Ayatullah APBN’.

Tidak hanya sangat paham, Hamzah juga dapat menyosialisasikan pengetahuannya itu kepada masyarakat. Bersama dengan rekannya, Umar Basalim, Hamzah menyampaikan kerumitan APBN kepada masyarakat dalam bahasa yang sederhana, yang dapat dimengerti oleh awam melalui media massa nasional.

Sebelum menjalani karir sebagai politisi, Hamzah menjadi bagian dari dunia pers Indonesia. Dia pernah menjadi wartawan koran Bebas yang terbit di Pontianak, serta pendiri Surat Kabar Berita Pawan yang terbit di Ketapang, Kalbar, dan Harian KAMI Kalimantan Barat. Sepenggal perjalanan hidupnya inilah yang membuatnya selalu berempati pada profesi wartawan. Hamzah hampir tidak pernah menolak keinginan wartawan yang ingin wawancara atau meminta pendapatnya tentang berbagai persoalan. Ketatnya pengawalan dan aturan protokoler yang diberlakukan kepadanya sebagai wakil presiden seolah tidak berlaku lagi kala wartawan ingin meminta komentarnya.

Pembawaan Hamzah yang tawadu, akomodatif, dan cenderung menjauhi konflik di satu sisi memang menjadi kekuatannya. Tetapi, di sisi lain sifatnya itu acapkali membuatnya seolah “pasrah” terhadap keadaan. Seperti ketika konsepnya tentang pemulihan ekonomi yang disampaikannya kepada Presiden Megawati Soekarnoputri tidak juga mendapat tanggapan, Hamzah tidak pernah “mendesak” lebih lanjut. Begitu pula terhadap pertanyaan tentang pembagian tugas antara presiden dan wakil presiden.

Sumber: http://www.isai.or.id/
Bagikan:
Comments
0 Comments
Labels:
0
COMMENTS
Design a Mobile Site
View Site in Mobile | Classic
Share by: