JUN
24

PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (3)

24 Juni 2012


PPP: “Rumah Besar” Ummat yang Ditinggalkan Penghuninya (3)

Oleh: Syamsir Alam*

TOKOH-TOKOH Islam yang jeli memanfatkan ayat dan hadits tertentu untuk ditafsirkan sesuai dengan kepentingan mereka yang sering sering hanya berlalu sesaat untuk direvisi kembali, setelah tujuannya tercapai. Sesuatu yang cukup mengherankan, banyak yang mengaku tokoh politik Islam bila kalah terus ngotot ingin menang, dan segera membuat partai baru sempalan. Tidak berlaku lagi hukum “Islam bersaudara”. Sebut saja Jailani (Johny) Naro yang dilengserkan pada 5 Januari tahun 1999 setelah lama berkuasa, langsung mendirikan Partai Persatuan (PP) yang akhirnya juga tidak bertahan lama.

Zainuddin MZ, dai dengan sejuta umat, melakukan reformasi partai PPP pada 20 Januari 2002 dengan mendirikan Partai Persatuan Pembangunan Reformasi (PPP Reformasi), yang kemudian pada 9 April 2003 berganti nama menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR). Tragisnya, pada bulan Januari 2007 partai ini kembali pecah, setelah Zaenal Ma’arif yang kalah dalam muktamar sebelumnya dan di recall dari DPR membuat PBR “tandingan” dan membubarkan partai tersebut. Fenomena partai Islam yang cenderung untuk terus pecah menjadi serpihan-serpihan kecil tersebut, dapat dipahami dari pergolakan tokoh-tokoh Islam mencari jati dirinya sejak era sebelum kemerdekaan.

Ada beberapa pelajaran yang dapat disimak dari perjalanan partai Islam di Indonesia selama lebih dari 60 tahun ini. Pertama, yang perlu disadari adalah adanya stigma Islam sebagai kelompok fundamentalis, yang perlu diawasi setiap penguasa yang tidak ingin diganggu posisinya, walaupun naiknya penguasa tersebut juga karena memanfaatkan kelompok Islam yang rindu pemimpin yang memperhatikan nasib mereka. Di pihak lain, kelompok Islam sangat ingin secara formal diakui eksistensinya (terwakili), walaupun tidak memberikan manfaat secara nyata untuk mengangkat kualitas umat, seperti tujuan awal dari pembaruan pemikiran Islam era sebelum kemerdekaan. Kedua, fakta bahwa pencapaian partai Islam formal total hanya sekitar 40 persen, yang tidak berubah banyak dari apa yang didapatkan pada Pemilu 1955, dan bahkan pernah turun drastis pada era Orde Baru.

Sebaiknya partai Islam mengubah strategi, dari terus berusaha mendominasi untuk memberlakukan hukum syariat, menjadi kegiatan teladan dari pengamalan syariat Islam secara konsekuen dalam tindakan. PPP yang selama ini dikenal sebagai kubu Islam, justru nampak kurang melibatkan diri dengan isu keislaman, dan cenderung menjadi partai Islam terbuka yang kompromis. Mayoritas Islam sebagai pendukung utama ternyata tidak menjadi ukuran kekuatan politik, karena nyatanya tidak ada kesetiaan dari tokoh-tokoh politik Islam, yang sangat senang untuk memisahkan diri membentuk partai baru, bila mereka merasa tidak lagi kebagian posisi empuk.

Tidak mungkin melakukan perubahan cepat dengan pemaksaan untuk mendapatkan formalitas berlakunya syariat Islam, karena perubahan tingkah laku harus dimulai dengan perubahan pola pikir yang memerlukan waktu lama. Pemaksaan perubahan melalui demo atau kekerasan, hampir dapat dipastikan akan berakhir dengan tragis, karena akan menghadapi sikap keras dari pemerintah (militer). Lebih baik beradaptasi dengan perubahan untuk bisa bertahan, dan berkembang menjadi lebih baik tanpa kehilangan jati diri melaksanakan syariat Islam dengan benar.

Partai Islam harus mengubah strategi program kerjanya dengan mencerdaskan kader dan pemilihnya untuk bisa memperbaiki taraf hidup mereka agar tetap menjadi pemilih setia yang berkualitas dan tidak menjadi beban partai. Cara-cara menebar janji bila memerlukan dukungan perlu diakhiri, karena pemilih yang semakin pintar akan segera meningalkannya, karena tidak bisa berharap lagi dari partai yang hanya menjanjikan angin surga belaka.

Jadi, sudah saatnya partai politik Islam perlu tokoh pemersatu dengan program mencerdaskan dan mensejahterakan umat untuk mewujudkan cita-cita Islam yang rahmatan lil alamin . Umat Islam sekarang ini nampak sudah bosan dengan para makelar politik, yang kerjanya memang mencari rezeki di lahan ini dengan “menjual suara” pengikutnya. Dan tanpa malu untuk berkutu-loncat ke pihak yang diperhitungkannya akan menang, dan ada pula yang kembali lagi ke partai asal (bagaikan ingus) bila dianggapnya lebih menguntungkan. .

Berbenah diri untuk membentuk citra baru
Pengamat politik LIPI, Prof. Syamsudin Haris memprediksi keberadaan partai politik Islam akan tamat di Pemilu 2014. Bisa saja bertahan, tapi akan segitu-segitu nya saja. Peluang PPP, PKB dan parpol Islam lainnya makin kecil bisa lolos ke Senayan, apalagi kalau parliamentary threshold (PT) dinaikkan menjadi 5 persen (Pelita, Jakarta, 21 November 2011). Menyadari ancaman seleksi alamiah pada Pemilu 2014 mendatang, PPP kini mulai berbenah diri untuk menjadi “Rumah Besar” Umat Islam, dengan membangun citra sebagai partai yang membuka diri. Tak mau lagi tampak sebagai partai yang kolot, ortodoks atau tertutup (Kompas, 21 Januari 2012)

Melihat hasil Pemilu 2009 lalu, posisi Parpol Islam mulai ditinggalkan konstituennya. Fenomena di atas, dapat dibaca sebagai sikap umat Islam yang tidak mau menerima kehadiran gerbong politik dengan latar belakang keagamaan yang tidak memberikan solusi kepada umatnya. Dukungan terbesar umat Islam dari kelompok arus utama (Nahdliyin dan Muhammadiyah) tidak diberikan kepada organisasi gerakan politik Islam yang memperjuangkan diberlakukannya syariat Islam di wilayah publik. Nampak pengaruh modernisasi, perubahan ekonomi, kemajuan pendidikan, urbanisasi, budaya luar dan sejumlah faktor lain yang terus meningkat telah mengubah kepentingan politik umat Islam.

Dengan orientasi politik umat Islam lebih bersifat plural, sebagai pengaruh proses modernisasi masyarakat, sehingga tingkat loyalitas para partisan parpol Islam pun menurun. Karena itu, mengarahkan afiliasi politik umat Islam ke dalam partai Islam menjadi sulit terwujud. Mereka justru lebih banyak menyebar ke partai sekuler; seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-P, Partai Hanura, dan Partai Gerindra yang mendasarkan platform dan program yang relevan dengan keseharian. Tingkat loyalitas para partisan parpol Islam telah semakin mengalami penurunan, sehingga prospek partai-partai Islam diperkirakan akan terus terpuruk dalam pemilu-pemilu mendatang.

Walaupun demikian, kecenderungan lain lebih dipicu oleh gagalnya Islam politik dalam melakukan adaptasi dan reorientasi konsep politik mereka sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi. Ditambah lagi dengan nafsu berkuasa yang seringkali lebih ditonjolkan politisi partai Islam, telah menjadi boomerang menghancurkan bangunan ideal partai yang semula dibangun sebagai wadah memperjuangkan kepentingan umat. Untuk memperbaikinya, para pimpinan partai seyogyanya menyajikan kemungkinan lain bagi penilaian publik terhadap keberadaan mereka yang tidak hanya sekadar mengejar kekuasaan. Karena itu, menjadi tantangan berat bagi kader dan pimpinan Partai Ka’bah untuk mengejar obsesi yang ingin menjadikan PPP sebagai rumah besar untuk menampung kepentingan politik Islam di Republik ini.

Walaupun PPP mempunyai strategi jempol sebagai “rumah besar” umat yang dicanangkan Suryadharma Ali dengan menggarap massa NU yang tidak begitu tertarik dengan PKB, namun menurut pandangan Kacung Marijan, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, tidak mudah untuk menarik kembali warga NU yang sudah berubah secara lebih rasional dan pragmatis (Kompas, 17 Januari 2012). Bahkan, PAN yang berbasis Muhammadiyah pun ikut membidik basis NU Jawa Timur untuk mendapatkan perolehan suara dua digit dalam Pemilu 2014 (Seputar Indonesia, 29 April 2012). Belum lagi usaha PKB untuk mempertahankan ‘miliknya’ dari gerogotan pesaingnya. Akankah berakhir cerita PPP setelah Pemilu 2014 nanti?

* Disusun untuk sociopolitica, oleh Syamsir Alam . Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru.
Bagikan:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Labels:
0
COMMENTS
Design a Mobile Site
View Site in Mobile | Classic
Share by: